Pokok Pikiran Mantan Presiden Soeharto tentang Hukuman Mati


Otobiografi Pak Harto
Mantan Presiden Soeharto sangat meyakini, sebagaimana halnya keyakinan mayoritas orang, bahwa  mati itu di tangan Tuhan. Menurut beliau, hukuman mati itu ada di dalam Undang-Undang Hukum Pidana. Apakah kemudian itu berarti bahwa manusia menentukan matinya seseorang?

Perkara kukuman mati ini, Pak Harto selalu berkonsultasi  kepada Mahkamah Agung (MA). "Kalau jawaban MA ya, dia harus menjalani hukuman mati, maka saya putuskan ya, sudahlah, saya tolak permintaan grasi. Dengan ini saya berpikir, barangkali memang Tuhan sudah menentukan matinya orang itu harus melewati keputusan saya" , ungkapnya tegas. "Tuhan yang menilai apa yang harus saya pikul kelak" , tandas beliau yakin.

“Mereka yang tidak ingin dikenakan hukuman mati, hendaknya janganlah melakukan perbuatan yang melanggar peraturan itu karena sudah diberitahu akibatnya", tegas Pak Harto. Mantap !!!

Pokok-pokok pikiran Mantan Presiden Soeharto tentang hukuman mati, dan juga tentang banyak hal lainnya, terekam dengan baik dalam buku otobiografi beliau: Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.

Related Posts:

Waspadai Politik Kriminalisasi dan Monsterisasi Dakwah


Kaligrafi berisi kalimat Tauhid atau Syahadat
Sejumlah upaya  yang mengarah pada kriminalisasi dan monsterisasi dakwah tampaknya sedang berlangsung saat ini, diakui ataupun tidak.  Monsterisasi adalah menjadikan orang takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak ditakutkan. Sebagai contoh, Bendera Hitam bertuliskan kalimat Tauhid Laa Ilaha Illallah ada kecenderungan dinisbatkan kepada simpatisan ISIS, teroris, atau prasangka-prasangka stereotip lainnya yang tidak berdasar sedikitpun.

Dengan monsterisasi,  orang cenderung tidak berani membawa bendera Laa Ilaha Illallah, sebab ketika membawanya keluar seolah-olah sipembawanya adalah seorang penjahat dan akan langsung ditangkap, atau minimal dimata-matai dengan penuh kecurigaan.  Inilah monsterisasi yang dipadukan dengan kriminalisasi. Atau, itulah kriminalisasi yang membuat penguatan pada efek monsterisasi dakwah. Salah satu hasilnya, sebagian umat Islam seperti  menjadi takut terhadap bendera tauhid.

Terminologi-terminologi penting lainnya dalam  Islam, seperti Jihad misalnya, dalam politik kriminalisasi dan monsterisasi, kata itu seolah menjadi momok, terutama bagi kalangan yang tidak memiliki pemahaman yang utuh terhadap substansi luhur yang dikandungnya. Makna jihad ada tanda-tanda dibelokkan kepada pengertian yang menyimpang dari makna sesungguhnya. Jihad dikonotasikan secara serampangan kepada kekerasan. Padahal, hemat saya, salah satu bentuk kekerasan nyata itu justru adalah pemerkosaan makna-makna luhur idiom-idiom keagamaan (khususnya Islam) sehingga kemudian menyimpang dari  kemurnian makna substansialnya.

Jihad, yang diselewengkan maknanya, lalu dianggap sebagai bibit-bibit kekerasan yang akan mengancam eksistensi bangsa. Padahal, bukti sejarah yang tak terbantahkan, justru Jihad itulah yang menyelamatkan negeri ini dari para penjajah. Sebutlah saja misalnya, Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Hadhratusy-Syaikh KH Hasyim As’ariy pada November 1945 yang terbukti membangkitkan gelora  semangat umat Islam sehingga bisa memukul mundur penjajah kala itu. Belum lagi kalau mengenang Ulama Mujahid seperti KH. Noer Alie misalnya. Siapa yang berani mengatakan bahwa Jihad (dalam pengertian yang otentik) akan mengancam eksistensi bangsa ini?

Berita heboh pemblokiran sejumlah situs atau media Islam di negeri tercinta ini beberapa waktu yang lalu, saya kira konteks dan motifnya masih dalam domain kriminalisasi dan monsterisasi dakwah itu sendiri. Kalaulah ada yang bilang bahwa konteks maupun motifnya berada di luar kriminalisasi dan monsterisasi dakwah misalnya, maka saya kira minimal sedang diarahkan ke situ.  (Disitulah kadang saya merasa sedih, hehe...)

Kesimpulan di atas saya rangkum dari sejumlah berita yang saya baca belakangan ini. Kata-kata yang saya gunakan, atau diksi yang saya pakai, dominan mengadob dari penuturan narasumber. Berita Utama (versi saya) yang menjadi sumber pokok ikhtisar di atas adalah Kriminalisasi dan Monsterisasi Dakwah. Hanya kepada Allah saya mohon ampun. Dan, Waspadalah !!!

Related Posts:

Istilah ‘Islam Moderat’ Nodai Kesempurnaan Terminologi Islam


Kesantunan masyarakat Indonesia serta toleransi antaragama yang terjalin dengan baik membuat bangsa kita dinilai oleh dunia sebagai negara Muslim sesungguhnya. Pimpinan negara-negara di kawasan Timur Tengah dalam sejumlah forum internasional, sangat berharap Indonesia berperan sebagai motor perdamaian bagi negara yang sedang berkonflik.Pengakuan dunia terhadap prestasi kerukunan beragama di negeri yang berpenduduk muslim mayoritas terbesar sejagad ini, tidak terlepas dari kesuksesan peran kiai dan ulama dalam menyebarluaskan Islam Moderat yang rahmatan lil’alamin.

Pernyataan di atas adalah pokok pikiran yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo saat bersilaturahim dengan sejumlah ulama di Pondok Pesantren Amanatul Ummah di Kecamatan Wonocolo, Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat 17 April 2015. (Lihat Jokowi Minta Ulama Sebarkan Ajaran Islam Moderat)

Afirmasi Kesempurnaan Islam

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS. Al-Maidah: 3)

Ayat di atas saya yakini seyakin-yakinnya sebagai salah satu inti penegasan (afirmasi) langsung dari Allah SWT tentang kesempurnaan Islam. Maka yang bersifat rahmatan lil’alamin itu ya Islam. Istilah Islam Moderat, apalagi kalau dipertegas bahwa yang bersifat rahmatan lil’alamin itu adalah Islam Moderat,  menyiratkan kesan yang sangat kuat bahwa ada Islam yang tidak rahmatan lil’alamin, atau ada Islam yang tidak sempurna. Mustahil itu terjadi pada Islam. Kekurangan hanya dapat terjadi pada manusianya, bukan pada agamanya (Islam).  Lihat juga Karakteristik Terminologi IslamWallahua’lam.

Related Posts:

Hukuman Mati dan Kelemahan Argumentasi Pegiat HAM


"Hukuman mati merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena tidak menghormati hak untuk hidup. Bahwa tidak seorang pun boleh mencabut nyawa orang lain, negara sekalipun" . Pernyataan ini disampaikan oleh Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Imparsial, salah satu lembaga pemantau Hak Asasi Manusia (HAM), seperti dikutip banyak media.

Pernyataan Direktur Eksekutif Imparsial itu, sejatinya mencerminkan pemikiran yang sangat parsial; tidak menukik sama sekali pada kedalaman universalitas makna hidup atau kehidupan itu sendiri. Ketika hukuman mati dijatuhkan oleh pengadilan terhadap pelaku kejahatan atau perbuatan yang terbukti menghilangkan kehidupan seseorang, justru lebih layak disebut sebagai hukum yang sangat melindungi kehidupan insani secara luas.

Hukuman mati akan memasuki ranah yang tidak manusiawi "jika dan hanya jika" hukuman itu dijatuhkan oleh orang, insitusi, atau lembaga yang tidak memiliki legalitas untuk melakukan itu, apalagi jika kemudian pertimbangannya sangat subyektif dan dikendalikan oleh hawa nafsu.

Hukuman mati yang diterapkan secara konsisten di Arab Saudi misalnya, terhadap para pelaku jenis kejahatan yang memenuhi syarat untuk mendapat hukuman itu, selayaknya dipandang sebagai konsistensi Negara tersebut dalam menjaga kehidupan secara hakiki dan menyeluruh.

Titik kritis persoalannya sesungguhnya bukan pada eksistensi hukuman mati itu, melainkan pada kesungguhan setiap insan (termasuk Negara) untuk mengejawantahkan prinsip-prinsip kehidupan dengan mengedepankan ikhtiar preventif terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang beresiko memasuki konsekuensi ranah hukuman mati.

Alaa kulli hal, jangan pernah menyalahkan Arab Saudi yang menerapkan hukuman itu, akan tetapi tengoklah lebih dalam pada diri kita (termasuk pada Negara kita), apa yang sudah, sedang dan akan terus kita lakukan agar kita tidak pernah layak untuk dijatuhi hukuman mati, dimanapun, dan kapanpun. Wallahua’lam.

Related Posts:

Dalam Beragama: Radikal Yes, Brutal No


Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin
Dalam beragama, seseorang memang harus radikal, dalam pengertian seorang penganut agama harus mempunyai keyakinan yang kuat dan mengakar. Yang tidak boleh adalah bersifat brutal atau menggunakan kekerasan dalam membela keyakinannya.

Sementara itu, deradikalisasi bukanlah cara yang tepat dalam menghadapi orang-orang yang brutal atau menggunakan cara-cara  kekerasan dalam memperjuangkan keyakinannya, karena deradikalisasi lebih condong kepada makna pengikisan keyakinan atau pelemahan komitmen beragama.

Pokok pikiran di atas merupakan substansi dari pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin seperti dimuat dalam portal berita Kementerian Agama belum lama ini (Lihat Menag: Orang Beragama Harus Radikal).

Related Posts: